Skip to main content

Agresi Militer Belanda Pasca Kemerdekaan Indonesia


Indonesia yang telah memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 ternyata masih mmendapat banyak tantangan. Tantangan yang pasti adalah keinginan Belanda untuk menguasai kembali Indonesia.

Belanda sangat keras kepala. Mereka menfsirkan pidato Ratu Wihelmina yang menyatakan bahwa Indonesia akan menjadi anggota persemakmuran (commonwelth). Dalam persemakmuran tersebut, Indonesia harus berbentuk federasi dan hal-hal yang berhubungan dengan luar negeri ditangani oleh Belanda. Tentu saja niat Belanda ini sangat ditentang oleh bangsa Indonesia.

Karena Indonesia menolak keinginan Belanda tersebut, Belanda segera mengirim nota (surat) berisi ultimatum (ancaman). Ultimatum tersebut harus dijawab oleh Indonesia dalam bats waktu 14 hari. Namun, Indonesia tetap menolak keinginan Belanda. Jawaban pun diberikan oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui siaran RRI Yogyakarta.

Pada tanggal 21 Juli 1947, Belanda menyerang secara serentak daerah-daerah Indonesia. Yogyakarta sebagai ibu kota negara pada waktu itu, tak luput dari serangan pesawat-pesawat Belanda. Ibu kota menjadi sunyi. Para pemuda pun berjaga-jaga dan bersiaga di dalam dan di luar kota terhadap kemungkinan serangan Belanda.

Penyerangan Belanda tersebut dikenal sebagai Agresz Militer Belanda I. Pada awalnya, serangn ini mampu membombardir pihak republik. Kekuatan pasukan dan persenjataan Belanda yanc lengkap dan modern dikerahkan. Hal ini membuat pasukan TNI terpencar. Akan tetapi, dengan adanya perubahan taktik, yaitu dengan menggunakan taktik gerilya, akhirnya kekuasaan dan gerakan Belanda dapat dibatasi.

Belanda hanya menguasai kota-kota besar dan jalan raya saja, selebihnya pasukan TNI yang menguasainya. Australia dan India mengecam agresi militer Belanda tersebut Wakil-wakil mereka di PBB mendesak agar masalah Indonesia dibahas dalam sidang Dewan Keamanan.

PBB menerima tanggapan wakil kedua negara tersebut. Tembak-menembak pun dihentikan, setelah PBB memerintahkannya. Perundingan bersama Dewan Keamanan dilakukan. Akhirnya, tercetuslah keputusan gencatan senjata antara kedua belah pihak. Keputusan gencatan senjata diumumkan pada tanggal 4 Agustus 1947 dan dianggap secara resmi berakhir pula agresi militer Belanda tersebut.

Walaupun telah menga.dakan gencatan senjata dengan pihak Republik Indonesia, Belanda tetap saja melakukan pelanggaran. Belanda terus saja mengadakan serangan dan memperluas wilayah pendudukannya. Bahkan, Belanda pun menuntut garis batas wilayah kekuasaannya setelah adanya perintah gencatan senjata dari PBB. Pihak Republik Indonesia tentu saja menolak perluasan wilayah tersebut karena gencatan senjata telah diumumkan. Akibatnya, bentrokan senjata sering terjadi antara pihak Republik dan pihak Belanda.

Pihak PBB terus membantu menyelesaikan persengketaan Indo-nesia-Belanda secara damai. Mereka membentuk Komisi Tiga Negara (KTN) yang terdiri atas Australia, Belgia dan- Amerika Serikat. Melalui komisi inilah, PBB mengharapkan masalah Indo-nesia-Belanda dapat diselesaikan. Perundingan kembali diadakan mulai tanggal 8 Desember 1947.

Perundingan berlangsung di kapal perang Angkatan Laut Amerika Serikat, yaitu USS Renville yang sedang berlabuh di Teluk-Jakarta. Alasan memilih kapal perang tersebut adalah agar perundingan diselenggarakan di tempat yang netral. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Mr. Amir Sjarifuddin dan delegasi Belanda dipimpin oleh R. Abdulkadir Widjojoatmodjo, seorang Indonesia yang memihak Belanda.

Perundingan berjalan dengan lancar dan kedua belah pihak bisa menerima usulan dari KTN. Pada tanggal 17 Januari 1948, kedua belah pihak menandatanganinya. Indonesia sebenarnya telah salah langkah dengan menandatangani Perjanjian Renville.

Perjanjian tersebut menyebabkan kedudukan Indonesia terkurung oleh daerah pendudukan Belanda. Rakyat Indonesia juga tidak menyetujui. Mereka mengajukan protes keras sehingga menyebabkan Kabinet Amir Sjarifuddin jatuh. Isi Perjanjian Renville adalah:
  1. Belanda hanya mengakui wilayah Indonesia atas Jawa Tengah, Yogyakarta, sebagian kecil Jawa Barat, Jawa Timur dan Sumatra,
  2. Tentara Republik Indonesia harus ditarik mundur dari daerah-daerah yang telah diduduki Belthda.

Terjadinya Agresi Militer Belanda II.

Belanda terus saja menekan Indonesia. Padahal, Indonesia pada saat itu sedang mengalami banyak masalah. Beberapa di antaranva adalah masalah pertikaian akibat Perjanjian Renville di kalangane republik dan pemberontakan PKI yang hendak mengubah republik Indonesia menjadi negara komunis.

Masalah ini menyebabkan Belanda mendapat peluang untuk lebih menekan Indonesia. Perundingan-perundingan sering dilakukan. Akan tetapi, pihak yang selalu diuntungkan adalah Belanda. Bahkan, pada tanggal 18 Desember 1948, Belanda menyatakan tidak terikat lagi dengan Perjanjian Renville.

Pada tanggal 19 Desember 1948 pukul 06.00 WIB, Agresi Militer Belanda II mulai dilakukan. Pesawat-pesawat tempur Belanda langsung menyerang Yogyakarta (ibu kota Republik Indonesia pada waktu itu). Dengan segera, Belanda menguasai Lapangan Terbang Maguwo dan kemudian seluruh Kota Yogyakarta.

Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta serta beberapa pejabat tinggi yang waktu itu ada di Yogyakarta ditangkap dan ditawan Belanda. Kedua pimpinan bangsa Indonesia itu oleh Belanda diperlakukan sebagai tawanan perang. Presiden Soekarno dibuang ke Prapat (Sumatra Utara) dan Wakil Presiden Moh. Hatta ke Pulau Bangka.

Penawanan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia tidak menyebabkan pihak Indonesia mengalah kepada Belanda. Kekuasaan dan pemerintahan tetap dipegang oleh bangsa Indo-nesia. Pada saat terjadi penyerangan oleh Belanda, pemerintah telah menugasi Menteri Kemakmuran, Mr. Sjarifuddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Iridonesia (PDRI) di Bukittinggi Sumatra Barat.

Sementara itu, TNI telah keluar dari Kota Yogyakarta dan melakukan perang gerilya. Para penduduk juga telah diungsikan ke luar kota dan beberapa daerah penting di dalam kota dibumihanguskan. Dengan demikian, Belanda hanya mampu menguasai Kota Yogyakarta dalam keadaan kosong. Di luar kota, keadaan tetap dipegang oleh TNI beserta rakyat.

Dengan dikuasainya Yogyakarta dan ditawannya pemimpin-pemimpin Indonesia, Belanda mengumumkan kepada dunia bahwa Republik Indonesia sudah tidak ada lagi. Tentu saja pengumuman Belanda ini membuat marah TNI dan rakyat. Pada tanggal 1 Maret 1949, pasukan TNI dan rakyat melancarkan Serangan Umum 1 Maret. Mereka berhasil merebut dan menduduki kembali Kota Yogyakarta selama 6 jam. Keberhasilan ini mengagetkan banyak pihak, terutama di luar negeri.

Ternyata, Republik Indonesia masih ada bahkan kembali menguasai ibu kotanya, yaitu Yogyakarta. Sebenarnya, agresi militer ini bagi Belanda tidak menguntungkan. Semua pihak, baik dari dalam maupun luar negeri mengecam • tindakan Belanda ini. Dewan Keamanan PBB pun mulai membahasnya. Oleh karena_tekanan politilc dirrriegara lain dan perlawanan TNI yang dibantu rakyat sangat gencar, akhirnva pihak Belanda mau menerima perintah Dewan Keamanan PBB untuk menghentikan agresi militernya.

Newest Post